dibalik kasus century
13 November 2008. Pagi. Bank Century kolaps, bangkrut. Bank itu kalah kliring. Sore harinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama rombongan, termasuk Menteri Keuangan Sri Mulyani, terbang menuju Washington, Amerika Serikat, untuk menghadiri pertemuan G-20.
Sri Mulyani melaporkan kondisi Bank Century kepada SBY, 14 November. Hari itu juga, Sri Mulyani kembali ke Tanah Air. Tiba 17 November. Keadaan gawat. Sejumlah tindakan genting harus diambil.
Sejumlah rapat dengan Gubernur Bank Indonesia ketika itu, Boediono, harus segera digelar.
PUKUL 03.30 waktu Jakarta, Rabu, 26 November 2008. Udara terasa dingin. Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, sepi. Pesawat Airbus A330-341 mendarat dengan mulus. Setelah melewati penerbangan meletihkan 30 jam dari Lima, Peru, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan rombongan turun dari pesawat.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyambut SBY dan rombongan di tangga pesawat. Kalla bukan hanya siap menyambut, melainkan juga siap melaporkan perkembangan di Tanah Air selama presiden ke luar negeri. Selama SBY melakukan misi 16 hari di luar negeri (ke Amerika Serikat, Meksiko, Brasil, dan Peru), Kalla memimpin negara dan pemerintahan. Karena itu, ia segera melaporkan perkembangan di Tanah Air begitu pemberi mandat tiba.
Banyak yang dilaporkan. Salah satunya soal Bank Century. Ia melaporkan bagaimana Sri Mulyani dan Boediono menangani Bank Century.
Kalla juga melaporkan, "Saya sudah memerintahkan Kapolri untuk menangkap Robert Tantular (pemilik Bank Century). Ini perampokan." "Baik, baik ...," begitu reaksi presiden seperti dikutip Kalla ketika menceritakan kisah tersebut di Studio Trans Kalla, Tanjung Bunga, Makassar, Selasa (24/11).
Kalla terlihat lebih gemuk. Berat badannya naik dua kilo sejak lepas dari kesibukan sebagai wakil presiden, 20 Oktober lalu. Dengan air muka yang cerah, Kalla berkata: "Sekarang tanggal 24 (November). Besok tanggal 25, persis setahun ketika Ani (Sri Mulyani) dan Boediono melaporkan Bank Century di kantor saya."
***
ISTANA Wakil Presiden RI, Jakarta, pukul 16.00 WIB, Selasa, 25 November 2008. Kalla ingat persis tanggal ini, lengkap dengan harinya. Ketika itu, ditemani stafnya masing-masing, Sri Mulyani dan Boediono melapor kepadanya mengenai Bank Century. Mereka harus melapor ke wapres karena presiden sedang di luar negeri. Pemilu presiden masih setahun lagi dan hubungan SBY-Kalla masih mesra.
"Apa? Bantuan? Kenapa harus dibantu. Ini perampokan," kata Kalla dengan suara keras ketika Sri Mulyani dan Boediono melaporkan "upaya penyelamatan" Bank Century.
Belum ada yang menduga bahwa kelak Boediono akan berpasangan dengan SBY, dan menang. Kalla adalah bos ketika itu.
Menurut Kalla, kedua pejabat itu melaporkan bahwa Bank Century menghadapi masalah besar. Masalah muncul karena krisis ekonomi global. Karena itu, Bank Century harus dibantu pemerintah dengan cara mengucurkan dana bailout (talangan).& #8232;
Bila tidak dibantu, demikian kedua pejabat itu meyakinkan Kalla, masalah Bank Century akan berimbas ke bank-bank lainnya. Pada akhirnya, perekonomian nasional akan oleng.
"Saya tidak setuju dengan pandangan itu. Krisis itu menghantam banyak orang. Masak ada badai cuma satu rumah yang kena. Tidak. Bila hanya Bank Century yang kena, itu bukan krisis. Yang bermasalah adalah Bank Century dan itu bukan karena krisis melainkan karena uang bank itu dirampok pemiliknya sendiri. Ini perampokan!" Kalla berteriak dengan keras.
"Lapor ke polisi," perintah Kalla kepada Sri Mulyani dan Boediono. "Sangat jelas, ini perampokan. Jangan berikan dana talangan." Sri Mulyani dan Boediono tidak berani. Bahkan mereka sempat bertanya, pasal apa yang akan dikenakan.
"Itu urusan polisi. Pokoknya ini perampokan," teriak Kalla lagi.
Karena melihat Sri Mulyani dan Boediono tidak menunjukkan gelagat akan memproses kasus ini secara hukum, Kalla lalu mengambil handphone-nya, menelepon Kapolri Bambang Hendarso Danuri.
"Tangkap Robert Tantular..., " teriaknya kepada Kapolri. Setelah menjelaskan secara singkat latar belakangan masalah, Kalla memerintahkan, "Tangkap secepatnya".
"Saya tidak tahu pasal apa yang harus dikenakan. Ini perampokan, tangkap. Soal pasal urusan polisi," cerita Kalla sambil tertawa. Dua jam kemudian, Kapolri menelepon. Robert Tantular telah ditangkap oleh tim yang dipimpin Kabareskrim Susno Duaji.
Mengingat kecepatan polisi bertindak, dengan nada berkelakar, Kalla mengatakan, polisi itu baik asal diperintah untuk tujuan kebaikan.
***
DI ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 3 September 2009, Robert Tantular diadili. Ketika membacakan duplik, pengacaranya, Bambang Hartono, memprotes Kalla.
Ia menilai Kalla telah mengintervensi hukum karena memerintahkan Kapolri untuk menangkap kliennya.
"Tindakan tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia," protes sang pengacara. 8232;
Menurut Bambang, penangkapan Robert Tantular tidak memiliki dasar hukum. Ia mengutip Boediono: "Pak Boediono selaku Gubernur BI mengatakan bahwa tidak bisa dilakukan penangkapan karena tidak ada dasar hukumnya." Mendengar protes pengacara itu, Kalla memberikan reaksi keras. Bahkan terus terang ia mengaku sangat marah.
Kata Kalla, "Saya marah karena saya disebut mengintervensi. Tidak. Saya tidak intervensi. Yang benar, saya memerintahkan polisi agar Robert Tantular ditangkap. Ini perampokan," katanya sambil tertawa.
Robert telah merugikan Bank Century, yang tentu saja ditanggung nasabahnya, sebesar Rp 2,8 triliun. Bank yang "dirampok" pemiliknya sendiri itu justru mendapatkan bantuan pemerintah, melalui tangan Sri Mulyani dan Boediono, sebesar Rp 6,7 triliun. Pengadilan memvonis Robert penjara empat tahun dan denda Rp 50 miliar/subsider lima bulan penjara.
Pernyataan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy tentang tidak adanya perbuatan melawan hukum dalam bailout Bank Century senilai Rp 6,7 triliun terus menuai kritik. Bahkan, ditengarai pernyataan tersebut sangat kental nuansa politis.
”Itu agenda politik untuk meyakinkan publik (bahwa) di Bank Century tidak ada masalah hukum,” ujar pengamat ekonomi Ichsanudin Noorsy.
Dia mempertanyakan kejaksaan yang menyatakan bahwa masalah terletak pada penggunaan, bukan pada pengucuran dana tersebut. ”Kalau pengucuran tidak ada masalah dan penggunaan ada masalah, itu dia (JAM Pidsus) lihat dari mana? Auditnya saja belum selesai,” tegasnya.
Menurut Ichsanudin, pernyataan itu seakan hendak menggiring masuk ke wilayah manajerial Bank Century.
Direktur pelaksana Lembaga Studi Kebijakan Publik itu juga menyatakan, pernyataan tersebut dinilai tidak memenuhi etika publik. Alasannya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) belum menyelesaikan audit investigatifnya.
Apalagi, audit itu dilakukan atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan DPR. ”User-nya (KPK dan DPR, Red) saja belum berani menyatakan itu.”
Sebagai penegak hukum, lanjut dia, seharusnya Kejagung tidak bermain kepentingan politik. ”Jangan terkesan ingin menutup-nutupi pejabat yang terlibat,” ujarnya.
Bahkan, pernyataan JAM Pidsus tersebut seolah-olah hendak menegaskan bahwa Boediono (mantan gubernur BI) dan Sri Mulyani (menteri keuangan) tidak terlibat dalam skandal itu. ”Tapi, bahasanya lain,” ungkap pengamat dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta tersebut.
Ichsanudin mengharapkan proses hukum tetap berjalan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dia meminta agar Kejagung tidak mendahului audit yang masih dilakukan BPK. ”Biarkan kasusnya muncul dulu. Di mana letak kebenarannya, nanti setelah jalan prosesnya,” katanya.
Jumat (23/10), JAM Pidsus Marwan Effendy mengungkapkan bahwa tidak ada perbuatan melawan hukum dalam bailout Bank Century. Alasan yang dikemukakan Marwan, antara lain, adanya Perppu No 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan serta parameter sistemik hanya diketahui oleh Depkeu dan BI sebagai regulator. ”Belum terlihat ada unsur pidananya di sana,” ujar Marwan (Jawa Pos, 24/10).
Ekonom anggota Indonesia Corruption Watch (ICW) Yanuar Rizki menegaskan, proses hukum terhadap skandal bailout Rp 6,7 triliun tetap harus dilanjutkan. ”Tidak ada pilihan lain, proses (hukum) harus dijalani. Perkara hasilnya bagaimana, itu nanti,” ucapnya.
Menurut dia, hal itu juga menjadi pertaruhan bagi Presiden SBY yang baru dilantik 20 Oktober lalu. Realisasi janji-janji dia tentang pemberantasan korupsi sangat ditunggu. Apalagi, kejaksaan merupakan institusi di bawah presiden. ”Kita tunggu komitmennya untuk membersihkan virus-virus dari sistem ekonomi ini,” urainya.
Yanuar juga menyayangkan pernyataan JAM Pidsus yang dinilai masih terlalu dini. Selain itu, alasan yang dikemukakan bahwa ada Perppu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) sebagai landasan dipertanyakan. ”Itu sudah dicabut,” tegasnya.
Seharusnya, penyidikan dengan serangkaian pemeriksaan harus lebih dulu dilakukan. Kemudian, dilakukan gelar perkara, sehingga hasilnya kredibel. ”Jangan sampai (skandal) menjadi BLBI kedua,” tuturnya.
Dihubungi Jawa Pos tadi malam, Marwan Effendy membantah ada penghentian kasus Bank Century yang ditangani Kejagung. Dia menegaskan, kasus Bank Century tetap berjalan dan ditangani Gedung Bundar. ”Kami masih jalan. Itu belum final,” tegasnya.
Mantan kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jatim itu menjelaskan, pernyataannya tersebut berdasar kajian tim jaksa dan perkembangan penyidikan. ”Jadi, bukan ada SP3 (surat perintah penghentian penyidikan),” ungkapnya.
Hasilnya, sementara belum ada perbuatan melawan hukum dalam pengucuran dana Rp 6,7 triliun tersebut. Karena itu, penyidik melihat pada penggunaannya dulu. Marwan juga menjelaskan, surat perintah penyidikan tidak hanya terkait dengan bailout. ”Bagaimana mau menghentikan, itu kan satu SP-Dik, tentang Bank Century, bukan hanya bailout,” jelas jaksa kelahiran Lubuk Linggau, Sumsel, tersebut.
Dalam penyidikan itu, Kejagung telah menetapkan dua tersangka. Yakni, Hesyam Al Waraq (wakil komisaris utama) dan Rafat Ali Rizvi (pemegang saham mayoritas/pengendali). Namun, keduanya berstatus buron.
Bagaimana dengan audit BPK? Mantan Kapusdiklat Kejagung itu menyatakan siap menindaklanjuti jika BPK menyerahkan hasil audit ke kejaksaan. Namun, menurut dia, hasil audit tersebut baru sebatas info awal. ”Untuk mengetahui tindak pidana, harus ada penelitian. Termasuk, apakah bisa jadi alat bukti,” ujar Marwan.
Di bagian lain, terkait sikap Kejagung tersebut, tampaknya, KPK tetap bergeming. Komisi tetap akan melanjutkan penyelidikan skandal bailout Bank Century senilai Rp 6,7 triliun tersebut. ”Kami menghargai sikap Kejagung itu. Tapi, hingga kini kami masih menunggu audit BPK,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi S.P. kemarin.
Sejauh ini, BPK memang belum memberikan hasil audit yang diminta lembaga antikorupsi itu. Yang pasti, komisi meminta untuk memeriksa seluruh aspek penyimpangan dalam skandal tersebut. Namun, hingga kini BPK belum juga merampungkan audit tersebut. Padahal, diperkirakan BPK menyerahkan hasil audit itu pada 20 Oktober lalu.
Johan mengungkapkan, kesimpulan Kejagung tersebut tentu sudah melalui mekanisme yang benar. ”Kesimpulan itu tentu sudah disertai penelitian atau penyidikan,” jelas pria asal Mojokerto tersebut.
Sebelumnya, langkah KPK menyelidiki skandal Century itu cukup mengundang simpati publik. Komisi juga pernah menjelaskan bahwa wilayah penyelidikan yang dilakukan bisa meliputi dugaan penyalahgunaan kewenangan para pejabat yang mengucurkan dana besar-besaran itu.
Sumber lain di KPK justru pesimistis lembaga antikorupsi itu melanjutkan proses hukum skandal bailout itu. ”Jangan banyak berharap kasus Bank Century itu bisa ditindaklanjuti KPK,” ungkap sumber tersebut.
Menurut informasi, internal KPK makin jarang merapatkan lagi kasus skandal di Bank Century itu. Padahal, dulu KPK telah memutuskan langkah penyelidikan skandal tersebut. Dia tak tahu mengapa komisi sekarang tak bergairah lagi menangani kasus itu.
Energi pimpinan KPK diperkirakan terkuras menghadapi desakan lain dari publik. Yakni, membongkar dugaan rekayasa kasus yang kini menyeret dua pimpinan KPK, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Meski, soal ini, pimpinan KPK yang sekarang tak berani mengambil keputusan berarti
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda